Bagaimana hukum nyanyian dalam Islam? Apakah
boleh atau haram? Serta adakah dalil sebagai dasar dalam menentukan dalilnya?
Mengenai masalah nyanyian baik dengan alat
musik maupun tanpa alat musik merupakan hal yang diberdebatkan oleh ahli fiqih
sejak dahulu. Kesepakan terjadi dalam beberapa hal namun tidak sepakat dalam
beberapa hal juga.
Sahabat Edukaislam.com, mari kita kaji tentang
pendapat para fuqaha ini. Para ulama hali fiqih (fuqaha) sepakat mengenai
haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyebabkan orang
terseret kepada kemaksiatan. Dan para ahli fiqih juga sepakat tentang
diperbolehkannya nyanyian pada acara-acara kegembiraan, seperti dalam acara
pernikahan, menyambut kedatangan seseorang dan pada hari raya.
Adapun yang membuat para ulama berbeda
pendapat adalah mengenai nyanyian selain yang dibahas pada masalah sebelumnya.
Diantara para ulama ada yang membolehkan semua jenis nyanyian baik dengan
menggunakan alat musik maupun dengan tidak menggunakan alat musik. Namun ada
pula yang melarangnya sama sekali bahkan mengharamkannya.
Dari berbagai pendapat itu, Ulama kekinian
Dr.Yusuf Al Qardhawi berpendapat bahwa nyanyian adalah halal. Karena asal dari
segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash shahih yang mengharamkannya.
Adapun sebagian orang mengharamkan semua
bentuk nyanyian dengan alasan firman Allah :
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Artinya :
“Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 5)
Selain ayat tersebut, kalangan yang
mengharamkan nyanyian juga pada dalil :
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ
Artinya :
“Dan apabila mereka mendengar perkataan
yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya...”
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat
dan tabi’in untuk mengharamkan nyanyian. Adapun jawaban terbaik atas penafsiran
mereka adalah yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia
berkata “ Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi
:
Pertama, tidak ada hujjah seseorang selain
Rasulullah saw.
Kedua, pendapat ini telah ditentang oleh
sebagian sahabat dan tabi’in yang lain.
Ketiga, Ayat ini justru membatalkan
argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu.
Imam Al Ghazali berkata : “Apabila menyebut
nama Allah Ta’ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati
yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak
dihukum maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?”
Barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat
mendorongnya untuk berbuat maksiat
kepada Allah Ta’ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkan dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah
dalam menaati Allah Azza Wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin dalam melakukan
kebaikan, maka ia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya termasuk
dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga
tidak maksiat maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang
tidak berfaedah dan dimaafkan. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw :
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu,
tetapi ia melihat hatimu.” (HR Muslim & Ibnu Majah)
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat,
dan sesungguhnya tiap-tiap orang ( mendapatkan ) apa yang ia niatkan.”
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan
oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada
satupun yang terlepas dari celaan, baik mengenai periwayatannya maupun
petunjuknya ataupun kedua-duanya. Al Qadhi Abu bakar Ibnu Arabi mengatakan
didalam kitabnya Al Hakam : “Tidak ada satupun hadits shahih yang
mengharamkannya.” Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi
dalam Al Umdah. Bahwa Ibnu Hazm berkata : “semua riwayat mengenai (pengharaman
nyanyian) itu batil dan palsu.`
Jika dalil-dalil yang mengharamkan telah
gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Dalam
hal ini terdapat nash shohih dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar
pernah masuk ke rumah Aisyah dan menemui Rasulullah, ketika itu ada dua gadis
di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya
berkata : Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Kemudian
Rasulullah saw menimpali : “Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya
hari ini adalah hari raya.”
Disamping itu, juga tidak ada larangan
menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits tersebut adalah saat-saat
yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan dan
sebagainya yang tidak terlarang.
Akan tetapi ada syarat yang harus dijaga yaitu
:
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan
ajaran dan Adab Islam.
2. penempilan penyanyi juga harus dipertimbangkan
3. Tidak
berlebih-lebihan
Wallahu A’lam